Aktivis Lingkungan Muda Pemimpin muda dengan pengalaman yang berdampak di bidang kebijakan, pendidikan, dan hubungan internasional. Sebagai seorang aktivis Ia aktif dalam mewakili Indonesia sebagai di kancah Internasional seperti di KTT ASEAN-Jepang 2025, mengadvokasi kebijakan perkotaan yang berkelanjutan.
Menimbang Potensi Konflik Kepentingan dalam Kebijakan Transisi Energi
11 jam lalu
Indonesia dihadapkan dengan pilihan untuk transisi energi, namun bagaimana transisi ini dapat diproyeksikan tanpa konflik kepetingan?
***
Presiden Indonesia Prabowo Subianto dalam berbagai forum internasional menyatakan sikap optimisnya terkait transisi energi di Indonesia. Dalam pernyataan pers bersama Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva awal Juli lalu, Presiden Prabowo mengungkapkan bahwa ia optimistis Indonesia bisa mencapai 100 persen energi terbarukan dalam sepuluh tahun ke depan.
Sebelumnya, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2034 juga memperlihatkan ambisi pengembangan energi terbarukan dalam struktur rencana penambahan listrik baru. Dari total kapasitas 69,5 gigawatt (GW) yang diharapkan bertambah dalam sepuluh tahun ke depan, 76% di antaranya berasal dari sumber energi terbarukan.
Persoalannya, transisi energi di Indonesia bukan sekedar persoalan teknis, tapi lebih pada persoalan ekonomi-politik. Persoalan ekonomi-politik dalam kebijakan transisi energi ini terkait dengan potensi konflik kepentingan di dalamnya. Potensi konflik kepentingan itu bukan hanya melibatkan elite nasional namun juga internasional. Jika potensi konflik kepentingan ini terus dibiarkan, publik yang akan dirugikan.
Potensi konflik kepentingan sudah muncul sejak dalam rencana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Ketergantungan Indonesia terhadap batubara, menyebabkan salah satu langkah awal dalam transisi energi adalah melakukan pensiun PLTU batubara. Tanpa adanya pensiun dini, pengembangan energi terbarukan justru akan menambah over supply listrik di Indonesia. Jika itu terjadi, keuangan PLN akan berdarah-darah.
Upaya pensiun dini PLTU ini membutuhkan biaya yang besar. Untuk pensiun dini PLTU ini, Indonesia mendapatkan utang dari Asian Development Bank (ADB), melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM). Pembiayaan pensiun dini PLTU ini kemudian masuk dalam skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP).
Pada 2023, PLN bersama PT Cirebon Electric Power (CEP) dan Indonesia Investment Authority (INA) telah menandatangani perjanjian kerangka kerja tidak mengikat untuk pensiun dini PLTU Cirebon 1. Pertanyaannya kemudian adalah dari sekian banyak PLTU di Indonesia, kenapa PLTU Cirebon 1 yang dipilih untuk dipensiunkan?
Pertanyaan itu muncul karena perjanjian untuk pensiun dini PLTU Cirebon 1 muncul di 2023, sementara peta jalan transisi energi di Indonesia justru baru muncul di 2025. Pada April 2025, muncul Peraturan Menteri (Permen) Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Normalnya, perjanjian terkait pensiun dini PLTU mengikuti peta jalan yang sudah ada, bukan justru sebaliknya.
Dalam pasal 12 Permen 10/2025 itu disebutkan bahwa pelaksanaan pensiun dini PLTU harus didahului dengan kajian. Sementara kajian pensiun dini itu dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak penugasan dari Menteri ESDM. Dengan kata lain, perjanjian untuk pensiun dini PLTU Cirebon dilakukan tanpa kajian sebelumnya. Kenapa ini bisa terjadi, apakah ada potensi konflik kepentingan dalam rencana pensiun dini PLTU?
Kekuatiran adanya konflik kepentingan dalam pensiun dini PLTU Cirebon 1 ini sejatinya pernah diungkapkan oleh Celios, sebuah lembaga think-thank ekonomi, sejak 2022. Menurut Celios, seperti ditulis di sebuah media daring, perusahaan Jepang memiliki pengaruh kuat keputusan ADB. Direktur Celios Bhima Yudhistira pernah mengingatkan jangan sampai PLTU yang dipensiunkan dini adalah PLTU yang merupakan preferensi negara yang memberikan utang.
Pemegang saham PLTU Cirebon 1 adalah perusahan asal Jepang (Marubeni dan JERA Co), Korea Selatan (Komipo, Samtan) dan Indonesia (Indika Energi). Di sisi lain, menurut Menteri Keuangan, seperti yang pernah ditulis di media daring, mengungkapkan bahwa pemegang saham terbesar terbesar dari ADB adalah Jepang dan Amerika Serikat masing sebesar 15,57%.
Potensi konflik kepentingan dalam pensiun dini PLTU batubara ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Menurut penelitian dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) PLN memiliki 83 unit PLTU. Sedangkan produsen listrik swasta mengoperasikan 49 unit PLTU batubara. Sementara pada Permen ESDM 10/2025 menyebutkan bahwa kajian pensiun dini PLTU dilakukan PT PLN (Persero) berdasarkan penugasan menteri. Apakah tidak muncul konflik kepentingan bila yang melakukan kajian untuk pensiun dini PLTU adalah pihak yang juga memiliki PLTU?
Potensi konflik kepentingan dalam pensiun dini PLTU batubara bertambah besar bila merujuk pada hasil temuan penelitian ICW, yang menyebutkan bahwa sedikitnya 10 orang terkaya se-Indonesia berada di balik proyek pembangkit listrik. Sebagian orang-orang terkaya itu juga memiliki kedekatan dengan elite para politik. Lantas, bagaimana pemerintah menghindari potensi konflik kepentingan dalam pensiun dini PLTU batubara ini?
Potensi konflik kepentingan dalam transisi energi juga terlihat dari pemilik tambang batubara di Indonesia. Para pemilik tambang batubara adalah orang-orang superkaya yang juga memiliki kedekatan politik dengan pemerintah. Bahkan menurut catatan Jaringan Advokasi Tambag (JATAM) Presiden Prabowo Subianto sendiri pernah memiliki tambang batubara. Para pemilik tambang batubara sangat berpeluang untuk mempengaruhi kebijakan transisi energi agar tidak menganggu kepentingannya. Sekali lagi, pertanyaannya adalah bagaimana pemerintah menghidari potensi konflik kepentingan itu?
Di sektor energi terbarukan pun, potensi konflik kepentingan juga muncul. Laporan ICW pada 2024 menyebutkan bahwa sebagian pemain di sektor energi terbarukan adalah perusahaan yang sebelumnya memiliki bisnis di industri ekstraktif berbasiskan fosil dan memiliki kedekatan dengan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghindari konflik kepentingan dalam kebijakan transisi energi adalah dengan membuka membuka ruang kebijakan (policy space) bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan transisi energi. Pembukaan ruang keterlibatan masyarakat itu bukan hanya untuk memenuhi syarat transparansi dan partisipasi publik namun juga untuk membatasi dominasi aktor-aktor yang memiliki kepentingan ekonomi-politik terhadap kebijakan transisi energi, baik itu aktor nasional maupun internasional.
Sayangnya, pemerintah masih setengah hati dalam membuka policy space bagi keterlibatan masyarakat tersebut. Skema pendanaan transisi energi dalam JETP yang semula diharapkan mampu membuka policy space yang transparan dan partisipatif untuk masyarakat pun ternyata hanya dilakukan dengan setengah hati. Dalam skema pendanaan JETP, masyarakat seolah-olah terlibat namun keputusannya tetap berada di tangan elite.
Hal yang sama juga terjadi pada policy space transisi energi di luar skema JETP. Dalam proyek-proyek yang mengatasnamakan transisi energi di lapangan seringkali pemerintah tidak memberikan informasi yang cukup bagi masyarakat untuk terlibat. Bahkan di berbagai proyek yang mengatasnamakan transisi energi itu, keterlibatan aktif masyarakat justru dihalangi dengan intimidasi dan tindak kekerasan. Intimidasi dan kekerasan terhadap warga Pocoleok, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tidak setuju perluasan proyek geothermal dapat dijadikan contoh dalam hal ini.
Publik harus terus mendesak pemerintah untuk membuka policy space bagi masyarakat sipil terlibat dalam pengambilan kebijakan transisi energi. Keterbukaan informasi dan keterlibatan masyarakat dalam kebijakan transisi energi akan menjadi penentu apakah kebijakan transisi energi akan berjalan mundur, di tempat atau maju. Tanpa adanya akses keterbukaan informasi dan partisipasi publik, agenda transisi energi hanya akan mainan baru oleh elite ekonomi-politik, baik di tingkat internasional maupun nasional. Jika itu yang terjadi, pengembangan energi terbarukan akan menghasilkan krisis baru yang bisa saja sama atau lebih buruk dari energi fosil.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler